Opini

Jalan Damai Penuh Keemasan

×

Jalan Damai Penuh Keemasan

Sebarkan artikel ini
Akademisi Edi Danggur yang Tinggal Di Jakarta. Foto: Ist.

Jakarta, Pijarflores.com – Jeremy, seorang advokat ibu kota sukses, dikenal sangat piawai dalam menangani dan memenangkan perkara-perkara besar. Ia jago menghafal dan menyebut dengan tepat pasal-pasal yang dijadikan sebagai dasar hukum untuk memenangkan suatu perkara yang dipercayakan oleh klien kepadanya.

Jeremy tidak high profile seperti advokat-advokat lain yang sibuk koleksi mobil mewah atau jam tangan bermerek untuk dipamerkan ke publik. Tetapi dirinya yang bersikap low profile ini dikenal pula sebagai advokat yang paling sibuk dan setia dengan hobinya memelihara anjing.

Ada yang bercanda, jangan hanya tanya pasal-pasal undang-undang kepadanya. Mau tanya jenis dan ras anjing, mulai dari anjing yang paling lucu sampai anjing yang paling galak pun ia hafal. Ia tidak sekedar menghafal ras anjing-anjing tetapi ia memang sudah memelihara anjing dari berbagai jenis: labrador, bulldog, shepherd, pudel, beagle, rottweiler, dan lain-lain.

Jangan tanya pula mengapa ia menekuni hobi memelihara anjing. Dengan tegas ia akan mengatakan: anjing adalah sahabat bagi manusia. Mereka adalah binatang pintar yang mampu memberi kita persahabatan, cinta, dan keamanan. Mereka adalah sahabat yang menyenangkan.

Hanya saat ke kantor atau ke sidang di pengadilan saja Jeremy tidak membawa atau tidak ditemani anjing-anjingnya. Tetapi di sore hari saat ia berolahraga, atau di hari libur akhir pekan atau hari minggu, kemana pun dia pergi, anjing-anjingnya selalu menemaninya.

Sebuah Cerita

Suatu kali Jeremy pergi ke pasar dan di samping pasar itu ada rumah potong hewan. Anjing-anjing piaraannya ikut menemaninya ke pasar tersebut. Wajah Jeremy sebagai advokat terkenal tidak begitu sulit untuk dikenali oleh para penjual daging di pasar itu.

Jeremy sibuk menerima salaman dan jabat tangan dari orang-orang di pasar itu. Tidak sedikit pun ia mengetahui apa yang dilakukan anjing-anjingnya itu. Ada beberapa ekor anjing membawa lari beberapa potong daging sapi di pasar itu.

Baedowi si penjual daging sapi ikut mendekati advokat Jeremy tersebut. Ia mengajukan pertanyaan: apakah pemilik anjing yang membawa lari daging dari penjual daging di pasar dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar ganti kerugian yang ditimbulkan oleh anjing-anjing piaraannya itu?

Jeremy dengan menjawab tangkas: Ya! Si pemilik anjing harus bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian kepada si penjual daging sapi. Kewajiban membayar ganti kerugian dimaksud sudah diatur dalam Pasal 1368 KUHPerdata.

“Bolehkah Bapak Advokat menjelaskan kepada kami yang buta hukum ini, apa isi Pasal 1368 KUHPerdata tersebut?”, pinta Baedowi sekali lagi. Dengan pelan-pelan, advokat Jeremy mengeja kata per kata bunyi Pasal 1368 KUHPerdata tersebut.

Begini bunyinya: “Pemilik seekor binatang, atau siapa yang memakainya, adalah, selama binatang itu dipakainya, bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya”.

Pada saat itu juga, Baedowi menyerahkan secarik kertas ke hadapan Advokat Jeremy: “Anjing milik Bapak Advokat telah membawa lari 5 kg daging sapi. Saya menderita rugi akibat ulah anjing Bapak. Mohon membayar ganti rugi sebesar 1 Juta Rupiah”.

Sambil minta copy KTP Baedowi, advokat Jeremy merogoh uang sebesar 1 Juta Rupiah dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Baedowi. Betapa senang hati Baedowi.

Teman-teman Baedowi pun heran dan sekaligus memuji sikap gentlemen dari advokat Jeremy tersebut. Sebab ia berani bayar ganti kerugian kepada orang yang telah dirugikan oleh kelakuan anjing-anjingnya yang membawa lari daging sapi seberat 5 kg milik Baedowi itu.

Baedowi pun ingin segera pulang ke rumah untuk menceritakan “keberuntungannya” pada hari tersebut. Ia patut merasa beruntung sebab kalaupun ada yang membeli dagingnya itu paling tinggi ia dapat 150 Ribu untuk 1 kg = 750 Ribu Rupiah (Tujuh rlRatus Lima Puluh Ribu Rupiah).

Begitu sampai di rumah, ia menyerahkan uang 1 Juta Rupiah tersebut kepada istrinya. Istrinya tentu sangat senang juga hari itu. Sebab suaminya jarang membawa pulang uang sebesar itu dari keuntungan bersih penjualan daging dalam sehari.

“Oh ya Pak, tadi dari kotak surat di depan rumah kita, ada messenger yang memasukkan surat ke dalamnya. Saya sudah ambil dan ini suratnya”, kata sang istri sambil menyerahkan surat itu kepada Baedowi.

Muka Baedowi pucat pasi. Tepok jidat! Surat itu ternyata berisi invoice dari Kantor Advokat Jeremy & Partners. Uraian dalam invoice: Pembayaran atas jasa hukum berupa konsultasi hukum selama 1 (satu) jam @10 Juta Rupiah. Jasa konsultasi hukum di bawah satu jam memang biasanya digenapkan jadi satu jam.

Kegembiraan suami istri ini menjadi pudar saat itu juga. Tidak ada gunanya mendapat uang ganti kerugian sebesar 1 Juta Rupiah.
Sebab Baedowi justru harus membayar biaya atas pendapat hukum yang diberikan Advokat Jeremy sebesar 10 Juta Rupiah atau 10 kali lipat dari nilai ganti kerugian yang diterima Baedowi. Suka atau tidak suka, Baedowi memang harus membayar jasa hukum tersebut.

Hikmah di Balik Cerita

Ada kebenaran dalam hidup ini yang disampaikan dalam bentuk perumpaan atau cerita. Bagi yang mendengar atau membaca cerita-cerita itu, reaksinya beraneka macam. Bisa merasa senang karena alur ceritanya lucu. Bisa juga sangat kecewa karena sulit menangkap maksud di balik cerita itu.

Kaum mistikus biasanya tetap konsisten bercerita dan tetap bercerita. Sebab bagi mereka, jarak paling dekat antara manusia dan kebenaran adalah cerita. “Jangan remehkan cerita. Uang emas hilang, bisa ditemukan kembali dengan lilin kecil. Tetapi, kenyataan paling dalam ditemukan dengan menggunakan cerita”, kata kaum mistikus itu.

Cerita di atas memberikan gambaran secara umum bahwa tidaklah mudah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) di sebuah negara hukum seperti Indonesia. Sekalipun Konstitusi kita sudah mengatur bahwa kita adalah negara hukum yang tunduk pada prinsip the rule of law.

Tetapi hampir semua orang mempunyai pengalaman pahit bahwa kebenaran dan keadilan itu diperoleh secara tidak efektif dan tidak efisien. Apalagi kalau kita berusaha mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan itu melalui ruang sidang pengadilan. Mengapa peradilan kita tidak mampu memberikan kebenaran dan keadilan secara efektif dan tidak efisien kepada masyarakat?

Berperkara itu pada umumnya biayanya mahal. Biaya itu menjadi semakin mahal jika waktu penyelesaiannya lama. Semakin lama waktu berperkara maka semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan.

Lawrence S. Clark mencatat misalnya biaya jasa hukum advokat di Amerika Serikat US$ 250 per jam. Maka Clark mengatakan: “So, the cost of lawsuits may exceed the value of winning”. Artinya, jumlah biaya perkara justru melampaui jumlah hasil kemenangan.

Mengenai hal yang sama, orang China juga mempunyai pepatah dalam Bahasa Inggeris: “going to the law is losing a cow for the sake of a cat”. Artinya: berperkara di pengadilan itu bagaikan berusaha mencari dan menemukan seekor kucing. Tetapi untuk membiayai upaya mencari dan menemukan kucing yang hilang itu harus terlebih dahulu menjual lembu.

Orang-orang yang berperkara pun seolah-olah menjadi orang lumpuh. Mereka tidak berdaya karena tersandera biaya perkara yang mahal itu. Kata Prof Jack Etriege: “litigation paralyzes people” – litigasi melumpuhkan orang.

Di jaman Romawi Kuno, ada juga sindiran yang ditujukan kepada para hakim di pengadilan: “aureo hamo piscari”. Artinya, mencari ikan dengan pancing emas. Pancing emas jauh lebih mahal dibandingkan ikan kecil yang tertangkap. Ya, karena sarana yang dipakai terlalu mahal.

Jika demikian, para pencari keadilan di ruang sidang pengadilan ibarat orang yang berharap mendapatkan air yang banyak dari buah yang kecil (“aquam a punice postulare”). Sebab, mereka menuntut sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi. Tidak ada keadilan yang bisa diperoleh dengan cepat dan biaya murah.

Damai itu menyelamatkan

Horatius (65 SM – 8 SM), seorang penyair kenamaan di Kekaiseran Romawi memuji penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui jalan damai. Jalan damai itu disebut Horatius sebagai: “aurea mediocratis”, artinya: jalan tengah keemasan. Sebab, jalan tengah itu selalu yang terbaik; jalan damai itu sebuah kesederhanaan dan kesederhanaan itu menyelamatkan.

Ada beberapa bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, antara lain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Jika para pihak sengketa sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka, maka mereka akan menandatangani perjanjian perdamaian.

Tentu saja ada banyak keuntungan dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui jalan damai, yaitu penyelesaian bersifat informal, karena yang menyelesaikan sengketa adalah para pihak itu sendiri.

Di samping itu, jangka waktu penyelesaian sengketa pendek, biaya ringan, tidak diperlukan aturan pembuktian yang begitu jelimet, proses penyelesaian bersifat konfidensial, hasil yang dituju sama menang, bebas dari emosi dan dendam, sehingga pihak-pihak tersebut masih berpeluang menjalin hubungan bisnis di masa depan.

Penulis: Edi Danggur Praktisi Hukum Tinggal di Jakarta

Tinggalkan Balasan