Jakarta, Pijarflores.com – Di sebuah kota di kaki sebuah pegunungan ada sebuah biara Shao Lin Kung Fu. Suatu ketika, para biarawan ini dikunjungi para aktivis dari sebuah kota pantai.
Diceritakan kepada para biarawan ini bahwa para turis wanita dewasa kalau berjalan di pantai, selalu berpakaian agak minim. Sehingga “gunung kembar” mereka bisa dilihat dengan jelas.
Cerita itu menjadi sebuah persepsi dominan yang telah mengisi pikiran para biarawan ini. Jika ada cerita versi lain soal keberadaan gunung kembar di tepi pantai, langsung mereka tolak.
Piknik ke Pantai
Suatu saat pimpinan biara membawa para biarawan ini piknik ke pantai. Persepsi soal gunung kembar ini selalu ada dalam pikiran mereka.
Di antara pohon-pohon Bidara yang tumbuh di pantai itu para biarawan melihat turis wanita mancanegara yang sedang jalan-jalan bersama suami dan anak-anak mereka di pantai.
Sesekali para turis ini bersandar di bawah pohon Bidara sambil minum Coca Cola. Wooouuuh di antara sela-sela pohon Bidara, para biarawan itu melihat penampakan gunung kembar, persis seperti yang mereka dengar dari para aktivis asal kota Pantai.
Para biarawan ini memanggil seorang pria penjaga pantai. Dengan polos mereka bertanya: “Apakah wanita pemilik gunung kembar yang mereka lihat di sela-sela pohon bidara itu cantik?”.
Si penjaga pantai sambil menggeleng kepala, dengan enteng menjawab: “Itu bukan gunung kembar milik wanita tetapi itu pantat seorang pria bule balita yang sedang bersandar di bawah pohon bidara”.
Semua biarawan dari kota pegunungan itu tetap ngotot bahwa yang mereka lihat adalah gunung kembar wanita dewasa.
Ya, karena sudah terlanjur tertanam dalam persepsi mereka bahwa gunung kembar wanita dewasa dapat mereka saksikan dengan mudah di pantai.
Mereka pun mencoba menguji persepsi mereka dengan realitas. Sungguh di luar dugaan bahwa ternyata yang mereka lihat adalah pantat kanan dan kiri seorang pria bule yang masih balita.
Semua biarawan ini kembali ke biara mereka dengan membawa rasa malu.
Pikiran Bagai Sebuah Ladang
Thich Nhat Hanh dalam bukunya yang berjudul “Memahami Pikiran Kita” mengatakan bahwa pikiran adalah sebuah ladang, tempat segala jenis benih disemai. Ada benih baik dan ada benih buruk. Ada benih delusi, ada benih pencerahan. Kualitas diri kita sangat ditentukan oleh benih yang kita tanam” (2013:7).
Jika di dalam diri kita benih delusi disirami, maka kebodohan akan tumbuh. Jika kita menyirami dengan benih pencerahan maka kebijaksanaan yang akan tumbuh dan berkembang. Maka kualitas diri kita sangat ditentukan dari kualitas benih-benih yang kita tanam di dalam diri kita.
Menanamkan persepsi yang baik ke dalam diri kita akan membuat diri kita lebih berkualitas. Sebaliknya, jika persepsi buruk mengisi pikiran kita maka benih-benih kebodohan yang bertumbuh dan berkembang. Orang bodoh mudah berpersepsi buruk dan pada saat yang sama ia juga mudah dibohongi.
Dalam buku Osho, orang bodoh digambarkan sebagai orang yang percaya akan sesuatu yang bertentangan dengan seluruh pengalamannya. Akibatnya, begitu Anda mengakali dia, maka dia mempercayai Anda. Anda mengakalinya lagi, dan ia pun tetap mempercayai Anda (A fool is one who goes on trusting against all his experience. You deceive him, and he trust you. You deceive him again, and he trust you).
Dalam pandangan Abraham Lincoln, orang bodoh mengetahui kebenaran, melihat kebenaran itu, tetapi ia masih tetap percaya juga pada kebohongan (stupid is knowing the truth, seeing the trusth, but still believing the lies). Atau, bodoh ketika mengetahui kebenaran, melihat kebenaran tetapi masih mempercayai kebohongan.
Penulis: Edi Danggur