Ruteng, Pijarflores.com – Bupati Manggarai Herybertus G.L. Nabit, telah mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan Lokasi Pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok, pada Desember 2022 lalu.
Terkait pernyataan Bupati Hery Nabit, Akademisi Edi Danggur saat dihubungi media ini, sangat mengapresiasi pernyataan Bupati Hery Nabit.
Menurut Edi, pernyataan Bupati Hery sangat benar, karena memiliki landasan hukum.
“Pernyataan Bupati Manggarai tersebut benar secara hukum. Sebab SK
Bupati Manggarai tentang Penetapan Lokasi tidak dapat dibatalkan dengan pernyataan secara lisan oleh Wakil Bupati Manggarai. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dikatakan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk Bupati, hanya dapat dibatalkan jika terdapat cacat,” tutur Edi.
Menurut dosen Universitas Atmajaya Jakarta ini, Surat Keputusan Penetapan Lokasi yang sudah dikeluarkan hanya bisa dibatalkan apabila mengalami beberapa kecacatan hukum.
“Kecacatan itu meliputi cacat wewenang, cacat prosedur dan/atau cacat substansi. Undang-undang Administrasi Pemerintahan pun hanya memberikan wewenang untuk membatalkan sebuah Keputusan kepada Bupati yang menerbitkan Keputusan tersebut dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” lanjut Edi.
“Namun demikian, Hakim PTUN tidak bisa secara ex officio membatalkan keputusan seorang Bupati. Misalnya hanya karena SK Bupati itu didemo oleh warga masyarakat yang merasa dirugikan. Pembatalan hanya dalam bentuk putusan pengadilan. Itu berarti harus ada gugatan terlebih dahulu dari warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya keputusan Bupati tersebut,” jelas Edi.
Edi menyampaikan, masyarakat yang menggugat harus melalui PTUN, namun apabila SK yang dikeluarkan tidak sesuai landasan hukum yang berlaku.
“Hakim PTUN hanya bisa membatalkan Keputusan Bupati tersebut jika warga masyarakat yang menggugat bisa membuktikan bahwa SK Bupati tersebut cacat wewenang, cacat prosedur dan/atau cacat substansi,” kata Edi.
Edi juga menambahkan bahwa Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan dibuat untuk meningkatkankualitas penyelenggaraan pemerintahanmelalui penggunaan wewenang Pejabat TUN yang mengacu pada asas-asas umum permerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Kalau kita membaca dengan cermat UU tentang Administrasi Pemerintahan itu, tidak ada satu pun pasal yang memberikan wewenang kepada siapa saja untuk menghentikan apalagi membatalkan keputusan seorang Bupati,” tuturnya.
Kalaupun wewenang untuk membatalkan SK Bupati diberikan oleh UU kepada atasan pejabat TUN yang menerbitkan SK tersebut. Tetapi, wewenang atasan itu hanya berlaku paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan pembatalan. Itupun atasan pejabat TUN itu harus bisa membuktikan adanya cacat wewenang, cacat prosedur dan/atau cacat substansi dalam SK Penetapan Lokasi tersebut.
Dengan demikian maka SK Penetapan Lokasi yang ditandatangani oleh Bupati Manggarai tetap sah dan tetap berlaku
“Ya, SK Penetapan Lokasi yang ditandatangani oleh Bupati Manggarai itu tetap sah dan tetap berlaku sampai saat ini. Apalagi tidak ada warga masyarakat yang menggugat pembatalan SK Penetapan Lokasi itu ke PTUN,” ungkapnya.
“Sekalipun ada gugatan, tidak serta-merta pula SK Penetapan Lokasi itu ditunda pemberlakuannya. Bagi orang yang dulu pada waktu kuliah mengambil mata kuliah Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Adminitrasi Pemerintahan, atau apapun namanya, dikenal sebuah adagium universal yang berbunyi: presumptio iustae causa, artinya: setiap keputusan Badan atau Pejabat TUN, termasuk keputusan Bupati, dianggap sah dan tetap berlaku serta harus dijalankan. Kecuali ada keputusan lain yang menyatakan batal atau tidak sah, atau ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang membatalkan atau menyatakan tidak sah,” ungkap Edi.
Dikatakan sebagai adagium universal, karena hampir semua negara di dunia mengadopsi asas hukum atau prinsip hukum seperti itu. Bahkan kalau ada gugatan pembatalan ke PTUN sekalipun, tidak serta-merta menunda berlakunya SK tersebut.
“Di Indonesia, asas hukum tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:“Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.” tutup Edi.
Editor: Tim PF