Ruteng, Pijarflores.com – Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat, Pr, menyampaikan kepada awak media usai kunjungan calon Presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo, di halaman istana Keuskupan Ruteng, kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, (26/1/2024).
“Kalau memang Geothermal merupakan kekayaan, “ayo” dimanfaatkan, asalkan memberikan dampak positif bagi masyarakat,” ungkap Uskup Sipri.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait dampak terhadap lingkungan rencana proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu unit 5-6 Poco Leok, Manggarai, Uskup Sipri Hormat mengatakan kalau memang kekayaan energi panas bumi memberikan dampak positif bagi masyarakat banyak silahkan dimanfaatkan.
“Masuk ke hal teknis bukan bagian saya (red, Uskup Sipri Hormat) ya, karena kalau omong tentang itu kan ada ahlinya,” terangnya kepada wartawan.
Kajian para ahli jelas Uskup Sipri Hormat, yang akan menentukan apa yang menjadi keuntungan dan apa yang menjadi kelemahan pengembangan Goethermal. Gereja lanjut Uskup Sipri Hormat, tidak menampik terhadap sebuah pembangunan, tetapi masyarakat tetap menjadi bagian yang harus diperhatikan.
“Kan kita tidak menampik pembangunan, tetapi masyarakat harus menjadi bagian yang harus diperhatikan. Atau sebagai stakeholder yang betul-betul bukan saja supaya kamu menindas orang di sini, lalu bawa kekayaan keluar,” ucapnya.
Hal serupa sambungnya, yang menjadi perjuangan Keuskupan Ruteng saat berbicara tentang rencana proyek geotermal Wae Sano. Tidak hanya menolak tetapi harus ada ruang untuk duduk bersama.
“Dan itu yang menjadi pola pikir kita kadang-kadang orang Manggarai pokoknya A A, B B. Karena pemerintah ini kan memikirkan banyak hal,” jelas Uskup Sipri Hormat.
Pemerintah kata Uskup Sipri Hormat, memikirkan banyak hal, ketika ada hal yang merugikan kepentingan umum “nah di situ kita bargaining. Jadi prosesnya itu kita berdinamika, jangan langsung hitam putih, A B”.
Uskup Sipri Hormat, Pr mengatakan, fokus pastoral gereja Katolik Keuskupan Ruteng tahun 2024 adalah ekologi integral. Baginya, ekologi bukan soal tanam menanam. Lebih dari itu, ekologi merupakan perwujud-nyataan iman.
“Nah karena itu orang sampai babat hutan, makan hutan, rakus makan hutan, itu orang yang itu orang yang sama membunuh kehidupan,” kata Uskup Sipri kepada awak media di Ruteng pada Jumat, 26 Januari 2024.
Karena itu, ekologi integral harus dinyatakan dengan baik dalam berbagai macam pernyataan-pernyataan kehidupan masyarakat, kata Uskup Sipri.
Bagaimana topik ekologi ini diimplementasikan dalam karya pastoral, menurutnya, “sakramen-sakramen dalam gereja nanti akan difokuskan pada penanaman pohon.”
“Orang yang dibaptis kasih pohon kalau tanam. Dan kau kawal sampai hidup. Orang yang (Sakramen) Komuni Pertama dikasih pohon, begitu juga dengan (Sakramen) Krisma sampai yang mau menikah. Dan kawal,” jelasnya.
Uskup Sipri sudah menggarisbawahi pastoral ekologi integral dalam penutupan sidang pastoral postnatal 2024 pada pertengahan Januari lalu.
Kegiatan ekologis, kata Uskup Sipri kala itu, harus menjadi bagian utuh dari iman, bukan sekadar aksi sosial ekologis belaka. Pada bagian lain, Uskup Sipri menyentil “fenomena ironis” di mana segelintir orang menguasai sumber-sumber alam secara berlimpah dan serakah, sementara sebagian besar orang tak punya apa-apa.
“Keserakahan ini mengakibatkan eksploitasi alam dan bencana alam yang korban-korban pertama dan utamanya adalah orang-orang miskin,” ujarnya.
Menyitir pernyataan Paus Fransiskus dalam Laudato Si, ekologi berkaitan dengan pembagian yang adil dari sumber-sumber daya alam yang ada di muka bumi ini.
“Oleh sebab itu, saya mengajak kita semua untuk dalam tahun ini menggalakkan aksi-aksi perawatan dan pelestarian alam ciptaan sekaligus diakonia terhadap orang-orang rentan di sekitar kita,” ungkapnya.
Editor: Tim PF