Oleh : Ebert Ganggut
Pilkada merupakan proses pengadilan rakyat terhadap calon pemimpin. Rakyat bagian terpenting dalam melahirkan pemimpin. Simpul-simpul kehendak rakyat harus menjadi konvensi bersama sebagai diktum keputusan pada nilai-nilai perjuangan dalam menghantar putra-putri terbaik untuk mendesain rumah besar manggarai.
Situasi Pemilu membutuhkan banyak energi yang terkuras, Pileg dan Pilpres baru selesai. Belum sempat mengusap keringat, rakyat disuguhkan lagi pada persiapan Pilkada. Tagline tampilan baliho aku momang meu, pembaharuan, pertanian dan peternakan, karisma, manggarai smart dan beberapa branding sebagai slogan dan jargon bakal calon mulai dipublikasikan.
Perbedaan dan pergeseran nilai-nilai sosial semakin nampak, diksi dan narasi yang selalu menyinggung rasa terus terucap, masing-masing pendukung saling melindungi, saling menyerang untuk mendapat simpati rakyat.
KITA sedang menuju ke rumah yang sama
Berdemokrasi itu untuk kita berbeda akal, namun sangat baik ketika perbedaan akal itu disuguhkan pada ide dan gagasan sebagai artikulasi berpikir rakyat untuk menghasilkan pemimpin.
Mungkin ia mungkin juga tidak! Kekuasaan itu mahal, bukan materinya tetapi moril, maka bentuk pertanggungjawaban dari setiap orang calon pemimpin itu memang harus dikritik, dizalim dan bahkan harus dihina, bukan privat tetapi akal sebagai konsistensi sikap untuk terus di takar publik.
Terkadang memang terasa keras, tetapi jadikan semua itu sebagai teman seruput kopi di sore hari, jadikan itu sebagai bumbu penyedap rasa dan sajian makan malam dalam berdemokrasi. Mungkin Bukan karena terasa benci, tetapi lebih kepada besarnya cinta rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang representatif.
Banyak orang terpolarisasi tergiring pada stigma atas nama rakyat, politik cadar versus burqa sama-sama samar menuju sakramen politik. Ya, itu realita! semua orang akan bermetarmofosis dari kepompong menjadi kupu-kupu. Fatamorgana?mungkin ia, karena rakyat dan pemimpin disuguhkan pada mimpi yang berharap nyata.
Banyak orang mengatakan bahwa politik itu seni kemungkinan, tetapi kita sedang mengatakan politik itu seni melawan ketidakmungkinan. Vox populi, vox dei rakyat sebagai pengendali kedaulatan, rakyat adalah navigasi penentu arah kebijakan.
Ekspektasi keinginan rakyat adalah memorandum yang terdistribusi pada kesepakatan luhur dari nilai-nilai juang yang ter-materai.
Pati gici arit wingke gici iret – bolek loke baca tara – t’ela galang pe’ang kete api one – mu’u luju lema emas dalam menjawab kebutuhan dasar masyarakat manggarai yang terlayani.
Dinamika demokrasi yang sesungguhnya adalah perbedaan. Perbedaan yang baik jika semua orang tidak berada pada satu atap yang sama tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Membangun konsep berpikir manggarai SMART lebih pada memantik dinamika cara berpikir rakyat pada konteks pendekatan buttom up, diskursus secangkir kopi lambu mbaru lejong beo, lebih pada konteks mengelaborasi konsep berpikir bonum commune sebagai nilai-nilai kejujuran, ketulusan dan kehendak absolut pikiran rakyat.
Perbedaan dalam berdemokrasi itu baik, kritikan pada akal adalah sebuah keharusan untuk melahirkan konsep berpikir cerdas. Namun etika rasa perlu juga merekonsiliasi diri sebagai komunitas yang serumpun pada budaya rumah besar Manggarai. Ini bukan persoalan kami atau kamu tetapi lebih kepada persoalan KITA untuk menjadikan rumah besar manggarai yang lebih baik.
Semua akan terlihat elok ketika bergandeng tangan walau dalam perbedaan, neka bike ca lide neka behas ca cewak boto manga ngampang tanah ngiri wae.
Bergandeng tangan bukan berarti semua orang berada dalam sistem, tetapi lebih kepada bagaimana rakyat bisa mengambil peran, memberi dukungan pada setiap kebijakan yang akan diambil oleh para calon pemimpinnya. Bukan untuk saling merendahkan tetapi lebih kepada prinsip kesetaraan berpikir dalam membangun.
Layar kapal akan terbentang lebar tat’kala bibir membuka senyum dan tangan mendekap hangat setiap orang yang dijumpai. Berlawanan arah angin, bukanlah pilihan..! dengan sedikit memutar layar perahu rumah besar manggarai tentu akan tetap berlayar.
Ini hanya soal keyakinan, dedikasi diri yang dipertaruhkan pada keputusan akal sebagai jastifikasi konsistensi cara berpikir dalam mengemban amanat rakyat untuk manggarai yang lebih baik.