Oleh: Jefrin Haryanto
PIJARFLORES – “Kadang, kebenaran tidak mati karena peluru, melainkan karena kita sendiri terlalu malas memeriksanya.”
Kawan, kita sedang hidup dalam masa yang aneh. Di satu sisi, manusia telah sampai pada puncak keterhubungan-dengan sebatang ponsel di genggaman, kabar dari belahan dunia lain bisa masuk secepat kedipan mata. Tapi di sisi lain, kita juga makin mudah tersesat: berita bohong, fitnah, dan manipulasi seakan jadi makanan sehari-hari. Yang paling menakjubkan, atau mungkin mengerikan, adalah betapa cepatnya jempol kita bereaksi. Sebelum pikiran sempat bertanya, kabar itu sudah dibagikan, di- ‘forward’, diberi emotikon marah.
Psikologi menyebut ini ‘confirmation bias’. Kita cenderung mencari informasi yang sesuai dengan keyakinan, bukan kebenaran. Otak kita, yang katanya organ paling canggih, justru sering dipermainkan oleh emosi. Rasa takut, marah, atau cemas membuat daya kritis kita lumpuh. Hoaks tahu betul cara memanfaatkan celah ini. Ia beredar bukan karena masuk akal, melainkan karena ia menyentuh luka batin kita.
Data Kominfo mencatat lebih dari 12.500 hoaks ditangani sejak 2018 hingga 2023. Angka yang mencerminkan bukan sekadar maraknya kabar palsu, tetapi lemahnya kemampuan kita memilah informasi. Bandingkan dengan Finlandia: di sana, anak-anak sejak sekolah dasar sudah diajari literasi media-membedakan fakta dan opini, menguji sumber berita, hingga menolak narasi yang manipulatif. Di Indonesia, literasi digital masih jadi barang mewah, kalah oleh tradisi “percaya karena dari grup keluarga.”
Kawan, betapa tragisnya: obrolan di warung kopi, rapat RT, bahkan khutbah di mimbar doa, sering dikotori kabar bohong. Kita marah, curiga, lalu saling mencaci, padahal kabar itu lahir dari layar kaca yang bahkan tak tahu siapa pengirim awalnya. Kita seperti bangsa yang terjebak dalam ruang gema, mendengar suara kita sendiri, lalu percaya itu suara kebenaran.
Tapi mari kita jujur: siapa di antara kita yang tak pernah tergoda? Kadang jempol memang lebih cepat daripada akal sehat. Kadang rasa ingin jadi yang pertama membagikan kabar, mengalahkan niat untuk memeriksa isinya. Maka, melawan hoaks bukan sekadar soal teknologi, tapi soal etika. Ini tentang kesabaran menahan diri, tentang keberanian menunda sebaran, tentang memilih diam sebelum yakin.
Di titik inilah perlawanan dimulai. Tidak cukup pemerintah menutup situs atau platform membubuhkan label “misinformasi.” Pertarungan utama ada di ruang paling sunyi: di hati dan kepala kita masing-masing. Apakah kita rela menjadi agen kebenaran, atau sekadar perpanjangan tangan kebohongan?
Sebab, kawan, dunia digital bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal kejujuran. Jika jempol kita tergesa, nalar kita pun akan tersesat. Dan bangsa yang tersesat bukan karena miskin informasi, melainkan karena kehilangan kebiasaan untuk berpikir.
Closing statement:
“Kadang yang menyelamatkan dunia bukan teriakan paling lantang, melainkan hening yang berani menunggu”.
Mari kita ingat, menahan satu jempol berarti menyelamatkan seribu kepala dari kesesatan. Di zaman yang riuh ini, diam yang penuh kesadaran bisa lebih nyaring dari teriakan yang penuh kebohongan. Karena kebenaran-betapapun lambat datangnya-selalu punya cara untuk bertahan. Salam Sang Jiwa