Oleh: Jefrin Haryanto
PIJARFLORES – Di tengah gegap gempita sebuah pertunjukan drumband, semua mata menoleh ke arah para penabuh bass drum yang gagah, tiupan terompet yang membelah udara, atau mayoret yang melenggang dengan percaya diri di barisan depan.
Tapi di sudut, kadang berjalan paling belakang atau bahkan di luar barisan, ada satu sosok yang tak pernah disebut saat tepuk tangan menggelegar. Ia tersenyum lebar, melambai-lambai, kadang menjatuhkan diri, kadang membuat lelucon yang tidak terlalu lucu. Tapi anak-anak tertawa. Dan orang-orang tersenyum.
Dialah si badut, pemeran tanpa nama, wajahnya tertutup topeng, suaranya tenggelam oleh irama, dan kehadirannya hanya sebagai pelengkap-atau penghibur.
Dan di situlah letak refleksinya: ia hadir bukan untuk dikenali, tapi untuk memberi warna.
Ia tidak butuh wajahnya dikenal, tidak butuh disebut dalam daftar nama pemain utama. Bahkan mungkin, tak ada yang tahu siapa dia setelah topeng dilepas. Tapi ia tetap tampil. Tetap menari. Tetap menampung senyum dan tepuk tangan yang bukan untuknya.
Dalam psikologi, ada istilah altruism without recognition, ketulusan yang tidak menginginkan panggung. Seperti para ibu yang bangun dini hari menyiapkan bekal tanpa pernah diucapkan terima kasih. Seperti guru yang sabar menjelaskan ulang, meski namanya tak tercatat di piagam penghargaan.
Badut dalam drumband itu, barangkali simbol dari banyak jiwa yang memilih jalan sunyi dalam memberi. Yang tak butuh standing ovation untuk terus menghadirkan kebahagiaan.
Ia mengingatkan kita, bahwa kadang cinta yang paling tulus adalah yang tidak terlihat. Bahwa kontribusi tidak selalu tentang panggung, tapi tentang makna. Dan bahwa, mungkin dunia butuh lebih banyak orang yang rela menjadi badut, bukan untuk ditertawakan, tapi untuk menjaga agar tawa tetap hidup.
Karena tak semua yang menggerakkan orang lain harus berada di depan.
Dan tak semua wajah yang tersembunyi berarti tanpa peran.
#SangJiwa
#RefleksiHidup
#MenjadiTanpaHarusTampak