BeritaOpini

Diri yang Terlalu Sibuk Jadi Konten

×

Diri yang Terlalu Sibuk Jadi Konten

Sebarkan artikel ini
Jefrin Haryanto, Konsultan dan Praktisi Psikologi, Penulis, Birokrat Muda.

Oleh: Jefrin Haryanto

PIJARFLORES, Mungkin kita hidup di zaman yang ganjil. Di mana orang lebih sibuk memoles bayangannya ketimbang menyelami dirinya. Di mana air mata hanya punya nilai kalau tertangkap kamera. Dan senyum perlu filter agar tampak lebih tulus.

 

Kita menjelma kurator hidup sendiri. Merancang biografi dalam potongan caption, menyunting kesedihan dalam balutan lirik lagu, menertawakan hidup yang sebenarnya ingin kita keluhkan-hanya agar tetap terlihat “baik-baik saja”. Kita tidak sedang hidup, kita sedang tampil.

Media sosial, yang awalnya lahir sebagai jembatan pertemanan, kini berubah jadi galeri diri. Kita lebih sering “ada” di sana daripada benar-benar hadir di sini. Di ruang makan. Di pelukan. Di sunyi.

Kita terlalu sibuk menjadi konten. Terlalu khawatir kalau tak eksis, akan dilupakan. Terlalu takut jika tak unggah, hidup kita tak dianggap berlangsung.

Ada ironi di sana: kita berbagi segalanya, tapi kehilangan sesuatu yang paling dasar-rasa cukup.

Secara psikologis, ini bukan fenomena remeh. FOMO (Fear of Missing Out) bukan hanya istilah lucu-lucuan, tapi gejala kecemasan sosial yang membuat kita merasa tertinggal jika tidak ikut tren. Sebuah penelitian di University of Pennsylvania (2018) menyimpulkan bahwa membatasi media sosial hanya 30 menit sehari bisa menurunkan tingkat kecemasan dan depresi.

Sementara itu, penelitian dari We Are Social & Hootsuite (2024) mencatat bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari ‘3,5 jam per hari’ hanya untuk bersosial media. Pertanyaannya sederhana: dalam 3,5 jam itu, berapa menit kita benar-benar mengenal diri sendiri?

Dunia maya itu seperti pasar malam yang riuh, penuh lampu, tapi seringkali tak ada kehangatan. Kita berdesakan dalam keramaian digital, tapi kesepian dalam kehidupan nyata.

Tapi bukan salah teknologi. Ia hanya cermin. Yang membuat kita miring bukan pantulannya, tapi kita yang lupa berdiri tegak. Yang perlu disorot bukan platform-nya, tapi motif di balik klik dan unggahan.

Mengapa kita memburu perhatian? Mengapa kita takut terlihat “biasa”? Jawaban-jawabannya tak terletak di algoritma, melainkan di kebutuhan dasar manusia akan pengakuan, kasih sayang, dan validasi. Kebutuhan yang, ironisnya, justru tak bisa dipenuhi lewat ribuan emoji cinta.

Di tengah dunia yang terlalu keras menilai, kritik pun berubah bentuk. Ia tak lagi diarahkan untuk membangun, tapi untuk menyerang. Bukan dengan argumen, tapi dengan komentar. Kritik tak disampaikan dengan cinta, melainkan dengan sinisme. Padahal, kritik yang berkelas adalah yang lahir dari empati.

Socrates, Gandhi, Mandela-mereka semua mengkritik sistem, tapi juga memberi contoh. Mereka tidak hanya bicara, mereka juga berbuat. Mereka tidak sekadar melihat lubang, tapi ikut menambal. Inilah yang membedakan tukang nyinyir dari tukang kritik yang berkelas.

Mungkin di sinilah kita perlu hening sejenak. Mematikan notifikasi. Menyentuh kepala, bukan layar. Bertanya, bukan pada publik, tapi pada diri: siapa yang kita pertontonkan hari ini?

Dan bila jawaban dari pertanyaan itu membuat kita sedikit malu, mungkin di situlah perjalanan baru dimulai. Bahwa menjadi manusia utuh tak butuh panggung. Ia butuh ruang. Untuk gagal. Untuk jujur. Untuk merasakan, bukan sekadar memperlihatkan.

Karena hidup ini bukan soal viral, tapi soal kebermaknaan.

Dan tidak semua hal harus menjadi konten.

Kadang, cukup jadi cerita.  

Yang tak dibagikan ke dunia, tapi disimpan di dada.