Ruteng, Pijarflores.com – Laporan kasus tindak pidana pemilihan di Pilkada Manggarai yang melibatkan calon bupati (Cabup) Maksimus Ngkeros yang berpasangan dengan Ronald Susilo ini masuk ketahap penyidikan Polres Manggarai.
Kasus yang menyeret Cabup Maksi Ngkeros ini, menarik perhatian Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya (UAJ) Jakarta, Edi Danggur.
Edi, mengatakan seharusnya kampanye itu sebagai sarana untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi cerdas dan tercerahkan, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pilkada.
Masuk pada tahapan kampanye, lanjut praktisi hukum Edi, sebagai bagian dari pendidikan politik, materi kampanye sudah dibatasi, yaitu hanya meliputi visi, misi dan program kerja sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Dalam sebuah proses pendidikan politik, jelasnya semua informasi yang disampaikan dalam kampanye harus benar, seimbang, penuh tanggung jawab, tidak boleh bertentangan dengan moralitas, nilai-nilai agama dan jati kita sebagai sesama orang Manggarai, bae hiang cama tau “Saling menghargai”.
“UU memang membolehkan menyampaikan materi kampanye dalam bahasa daerah, tetapi tetap harus dijaga agar diksi yang digunakan mengandung sopan-santun, kepatutan dan kepantasan,” jelas Edi Danggur, Praktisi hukum, tinggal di Jakarta.
Edi juga mengungkapkan, ada sensitivitas yang mengekang diri kita untuk tidak menggunakan diksi yang tidak bermanfaat, tidak mencerdaskan dan tidak bersifat provokatif.
Dijelaskan Edi, UU secara tegas melarang kampanye yang isinya menghina, menyerang pribadi paslon lain, apalagi mempengaruhi pemilih untuk hanya memilih calon tertentu atau tidak memilih calon lain.
Dalam pilkada Manggarai, kata Edi, sudah ada laporan mengenai dugaan melakukan tindak pidana pemilu. Semua dugaan tindak pidana diproses sesuai dengan KUHAP, tetapi dengan keistimewaan tertentu yaitu kecepatan proses yang semuanya dilakukan dalam hitungan hari.
“Dari berita media online, laporan dugaan tindak pidana oleh paslon tertentu sudah ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke tingkat penyidikan. Itu berarti penyelidik sudah mempunyai kesimpulan final bahwa substansi laporan memenuhi unsur tindak pidana,” ungkap Edi.
Menurut Edi, siapa yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana pemilu? Pengamat politik, praktisi hukum dan masyarakat tidak perlu berspekulasi. Dorong saja penyidik agar bertindak profesional dalam menangani setiap laporan dugaan tindak pidana pemilu.
Dalam kasus ini, jelasnya beberapa hari ke depan, penyidik seharusnya sudah mengumumkan nama tersangka pelaku tindak pidana. Sebab dalam 14 hari penyidik harus sudah menyampaikan berkas perkara ke tahap penuntutan.
Penuntut hanya punya waktu 5 hari sejak menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Dalam 7 hari, pengadilan harus sudah memutuskan perkara tersebut.
Jika terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pemilu sebagaimana didakwakan, maka sesuai ketentuan Pasal 521 UU Pemilu, terdakwa dijatuhi pidana kurungan maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp 24 juta.
Menurut Edi, jika tidak puas atas putusan pengadilan negeri, terdakwa bisa mengajukan banding dan paling lambat 3 hari setelah putusan, berkas banding harus sudah sampai di pengadilan tinggi.
“Dalam 7 hari setelah menerima berkas dari pengadilan tingkat pertama, hakim banding dalam 7 hari harus sudah memutuskan perkara tersebut,” jelasnya.
Itu artinya kata Edi, Putusan tingkat banding bersifat final dan mengikat dan dapat dieksekusi.
Penegakan hukum dalam pilkada memang seyogyanya harus dilakukan dengan tegas, untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar kompetisi dalam pilkada benar-benar dilakukan dengan jujur dan adil, jangan hina dan fitnah orang jika tidak ingin dihina dan difitnah.
“Jika semua dugaan tindak pidana pemilu diproses secara hukum di pengadilan maka penyelenggaraan Pilkada di daerah kita saat ini dan di masa depan akan berkepastian hukum, tertib, efektif, dan akuntabel,” terang Edi.
Sebelumnya, Ketua Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat NTT (LPPDM NTT), Marsel Nagus Ahang, SH., melaporkan Maksi Ngkeros ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui Sentra Gakkumdu Manggarai, pada 14 Oktober 2024.
Laporan Ahang ini, lantaran Maksi Ngkeros, dalam materi kampanye-nya menyudutkan Paslon nomor urut 2, di kampung Rampa Sasa, desa Wae Mulu, kecamatan Wae Ri’i, kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 07 Oktober 2024 lalu.
“Cama laing pande di’an Manggarai ho,o gah. Pu’ung ce mai Rampa Sasa, neka teing can suara Hery Nabit no,o (Kita secara bersama-sama buat baik untuk Manggarai saat ini, jangan berikan satu suara untuk Hery Nabit, disini). Karena dia (Hery Nabit) telah menghancurkan Manggarai,” sebut Maksimus dalam video yang berdurasi 1 menit yang beredar sejumlah media sosial.