BeritaOpini

Lulus di Kehidupan, Gagal di Sekolah

×

Lulus di Kehidupan, Gagal di Sekolah

Sebarkan artikel ini
Jefrin Haryanto.

Oleh: Jefrin Haryanto

PIJARFLORES.COM – Anak itu pandai berdagang tapi dicap bodoh karena tak bisa menghafal sejarah kerajaan.  

Ia bisa menawar harga di pasar lebih cekatan dari guru ekonomi, api nilai matematikanya merah menyala.

Ia berhenti sekolah di kelas 2 SMP.  

Bukan karena malas, tapi karena hidup lebih duluan mengetuk pintu.  

Karena ada keluarga di rumah yang lapar, dan sekolah tidak pernah mengajarkan bagaimana menghadapi kenyataan itu.

Indonesia-negara dengan ratusan ribu ruang kelas-masih menyimpan jutaan anak yang tak pernah duduk di dalamnya.

Menurut BPS (2023), lebih dari 900 ribu anak usia sekolah tak lagi bersekolah.  

Di Nusa Tenggara Timur, angka partisipasi murni SMA hanya 51%.  

Artinya: separuh dari anak-anak remaja memilih atau terpaksa pamit lebih awal dari dunia belajar.

Kita membangun sekolah bertingkat,  

tapi lupa membangun alasan agar anak ingin datang. Kita ubah kurikulum saban tahun, tapi tak pernah ubah fakta bahwa sekolah masih terasa asing bagi yang miskin.

Di Inggris, anak-anak belajar seni bicara.  

Di Jerman, belajar dari dunia kerja.  

Di Korea, sekolah tak hanya tempat belajar-tapi sistem hidup. Di Indonesia, anak-anak belajar banyak hal yang mereka tak tahu gunanya. Terkadang: yang penting bisa lulus, meski tak tahu ‘apa yang dipelajari’.

Mungkin kita terlalu sibuk mencetak siswa yang bisa mengisi Lembar Jawaban Komputer, dan lupa bagaimana mengisi hidup mereka dengan harapan.

Sekolah sering kali kaku:  

anak yang tak pandai teori, dicap gagal.  

Anak yang terlalu bertanya, diminta diam.  

Anak yang berbeda, disuruh seragam.

Lalu kita heran:  

mengapa anak-anak memilih keluar, padahal sekolah gratis?

Mungkin karena sekolah tak pernah gratis dari perasaan dihakimi.  

Tak pernah gratis dari kewajiban membeli sepatu mahal.  

Tak pernah gratis dari rasa malu karena tak bisa ikut les seperti teman sebelah.

Mereka berhenti sekolah, tapi bukan berhenti belajar.  

Mereka belajar bertahan.  

Belajar berjualan.  

Belajar hidup tanpa rapor.  

Dan sering kali, mereka lulus di kehidupan, meski gagal di sekolah.

Pertanyaannya: siapa yang sebenarnya gagal?  

Mereka? Atau kita yang membiarkan sekolah kehilangan maknanya?

Kalau negara ini sungguh peduli, pendidikan tak akan hanya hadir lewat pidato dan pagu anggaran.  

Tapi lewat guru yang tak menghakimi, kelas yang menerima semua bentuk kecerdasan, dan kurikulum yang tahu cara mendekap, bukan sekadar mencetak.

Sebab sekolah seharusnya adalah tempat terakhir seorang anak merasa kecil.  

Bukan tempat pertama ia kehilangan mimpi.