Oleh: Edi Danggur
PIJARFLORES – Di kota Ruteng, ada seorang rohaniawan, yang mereka beri gelar “Plato-nya Ruteng”. Sebab, kalau ia berbicara, ia bisa langsung menghubungkan semua persoalan konkret di tengah masyarakat dengan pendapat filsuf Plato.
Ia selalu mengatakan, solusi untuk semua masalah di tengah masyarakat sudah ada resepnya pada pandangan Plato. Baginya, masalah di tengah masyarakat itu ibarat kotak-kotak dalam teka-teki silang yang tinggal dimasukkan huruf-huruf tertentu pada tiap kotak itu.
Suatu kali, rohaniawan-filsuf ini, hendak menjahitkan sepasang sepatunya, yang lekatan lemnya sudah tidak kuat lagi. Itulah sepasang sepatu satu-satunya yang dimiliki rohaniawan filsuf itu.
Ia pun datang ke samping Toko Sejati, tempat mangkalnya orang-orang Jawa yang spesialis menjahit sepatu. Ia datang agak sore karena sepanjang hari ia sibuk mengajar di sebuah perguruan tinggi di kota itu.
Ia sempat bertanya basa-basi menanyakan nama tukang jahit sepatu yang akan menjahitkan sepatunya. Jawab si penjahit sepatu: “Panggil saja nama saya Pak Coklat”.
“Anda seorang polisi atau pensiunan polisi? Sebab di kota kami ini, Pak Coklat adalah nama lain untuk polisi atau pensiunan polisi. Maka kalau ada yang menyebut Partai Coklat, itu dipersepsikan sebagai partainya para polisi”, tanya si rohaniawan filsuf itu.
“Tidak, tidak! Coklat itu artinya Cowok Klaten. Artinya saya seorang pria Jawa yang berasal dari Klaten”, demikian si penjahit sepatu itu menjelaskan.
Si rohaniawan filsuf mengangguk-angguk pertanda paham penjelasan si Pak Coklat itu. Mereka sepakat biaya jahit sepatu itu: Rp 35.000 (tiga puluh lima ribu rupiah).
Si rohaniawan filsuf menyerahkan sepasang sepatunya kepada Pak Coklat. Lalu, Pak Coklat menyerahkan sepasang sepatu lainnya kepada si rohaniawan filsuf itu sambil menunggu selesai sepatunya dijahitkan.
“Berhubung datangnya agak sore, kami tidak bisa menjahitkannya sekarang, kami mau tutup dan mau pulang rumah, maka saya pinjamkan dan silakan pakai sepatu ini dan sepatumu saya jahitkan di rumah”, kata Pak Coklat.
Si rohaniawan filsuf marah besar: “Apa katamu? Kamu pinjamkan aku sepatu? Aku pakai sepatu orang lain? Kamu anggap saya ini apa? Walaupun saya hanya punya sepasang sepatu, tetapi saya tidak terbiasa pinjam sepatu orang lain.”
“Ya, makanya kalau mau jahitkan sepatu, datangnya pagi hari, bukan sore hari seperti sekarang ini”, kata Pak Coklat dengan suara halus gaya Jawa.
Jawaban seperti itu justru menambah geramnya si rohaniawan filsuf itu. Geram karena seolah-olah Pak Coklat tidak tahu bahwa si rohaniawan filsuf ini pasti sibuk mengajar dari pagi hingga siang hari.
“Anda tidak mengenal saya ya? Anda tidak tahu bahwa saya sangat sibuk mengajar dari pagi hingga siang hari. Lalu Anda dengan enteng menawarkan saya memakai sepatu orang lain. Itu tindakan merendahkan intelektualitas dan harga diri saya”, kata si rohaniawan filsuf ini.
Pak Coklat tidak menampakkan amarah di wajahnya. Tidak juga mengeluarkan suara keras. Dengan nada datar dan halus, Pak Coklat mengatakan: “Mengapa engkau menolak menggunakan sepatu orang lain di kakimu, sedangkan engkau begitu saja membawa pikiran-pikiran orang lain di kepalamu?”
Berani Berpikir Sendiri
Dalam banyak polemik pro dan kontra terhadap berbagai proyek pembangunan di tengah masyarakat, seringkali para pengambil keputusan malas berpikir mandiri, malas berpikir kritis, apalagi berusaha mencari solusi alternatif.
Paling mudah adalah menggunakan argumentasi otoritas (argumentum ad verecundiam). Apa kata filsuf, apa kata rohaniawan, apa kata pastor, apa kata uskup, itu dianggap benar. Yang mereka katakan pasti dianggap benar. Episcopus loquta, causa finita, uskup berkata, habis perkara.
Bagi mereka, otoritas adalah satu-satunya jalan utama untuk menentukan benar atau salahnya suatu pandangan. Tidak ada dialog, tidak ada diskusi. Tak perlu mencari kebenaran alternatif. Maka melawan pendapat otoritas mereka anggap melawan kebenaran itu sendiri.
Padahal, kebenaran hanya bisa diperoleh jika setiap individu berani berpikir sendiri, ada pikiran yang mandiri dan tidak terpengaruh apalagi hanya sekedar mengikuti pikiran orang lain, sekalipun orang itu mempunyai kewibawaan atau otoritas.
Oleh karena itu, melawan argumentasi otoritas tidak berarti melawan kebenaran. Justru dengan menolak atau melawan argumentasi otoritas, kita mengkritisi informasi yang datang. Jangan menerima begitu saja informasi tanpa mempertanyakannya.
Mempertanyakan informasi yang datang adalah cikal bakal dari keberanian untuk mengembangkan pikiran mandiri, berani berpikir sendiri, tidak hanya mengikuti pikiran orang lain tanpa mempertimbangkan kebenarannya.
Implementasi
Ajakan “cogita tibi” atau “Pikirkan sendiri” atau “Berpikirlah untuk dirimu sendiri”, tidak hanya merupakan hak universal tetapi juga merupakan hak konstitusional. Dikatakan sebagai hak universal sebab hak atas kebebasan berpikir dan bereksepresi serta berpendapat dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Vide Pasal 18 dan Pasal 19 DUHAM).
Demikian pula hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran tanpa terpengaruh oleh pikiran atau pendapat orang lain, dijamin keberadaannya oleh Konstitusi kita (Vide Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945).
Sapere aude-beranilah berpikir sendiri dalam dialog dengan orang lain. Hanya orang dengan kualitas berpikir mandiri, yang mempunyai kemampuan kreasi untuk mendapatkan solusi atas setiap persoalan. Jangan berharap banyak pada orang yang hanya bergantung pada pendapat otoritas. Orang-orang seperti ini adalah korban sikap hipokrisi mereka sendiri, mereka sangat sulit berdialog dengan orang lain dalam upaya menemukan kebenaran.
Penulis adalah seorang praktisi hukum, tinggal di Jakarta