BeritaOpini

Penanganan Stunting di Negeri Seminar dan Poster

×

Penanganan Stunting di Negeri Seminar dan Poster

Sebarkan artikel ini
Jefrin Haryanto, Konsultan dan Praktisi Psikologi, Penulis, Birokrat Muda.

Oleh: Jefrin Haryanto

 

Di banyak ruang rapat berpendingin udara, kata “stunting” terdengar berulang seperti mantra. Para pejabat bersahutan, menunjuk grafik, memamerkan angka prevalensi, dan memproduksi jargon: intervensi spesifik, sensitif, dan tentu-berbasis data. Tapi di satu dapur mungil di Manggarai Timur, seorang mama menanak nasi dengan sisa beras semalam, dan air kelor sebagai sayur satu-satunya. Tidak ada grafik di sana. Hanya panci kosong dan suara anak yang lemas menahan lapar.

Stunting, kata WHO, adalah kegagalan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis dalam 1000 hari pertama kehidupan. Di Indonesia, angka stunting sempat menyentuh 37,2% (2013), dan turun menjadi 21,6% pada 2022. Itu berita baik. Namun mari jujur: apakah penurunan ini buah perubahan sistemik, atau sekadar hasil optimisme administratif yang tergesa?

Karena nyatanya, banyak intervensi yang tidak menyentuh akar. Yang disasar adalah angka, bukan anak. Yang digarap adalah laporan, bukan dapur. Sementara di banyak desa, masalah gizi bukan karena orang tua tak peduli, tapi karena akses pangan bergizi setara emas, dan pengetahuan gizi diselimuti oleh mitos dan kepercayaan lama. Di sinilah lahir pendekatan “Cek Dapur Mama”.

Dapur adalah Cermin Negara

Cek Dapur Mama bukan sekadar istilah lucu atau program baru yang dikemas kementerian. Ia lahir dari kenyataan bahwa jika ingin tahu kualitas gizi sebuah keluarga, jangan mulai dari posyandu, mulailah dari dapur. Apakah ada protein hewani hari ini? Apakah minyak goreng bekas dipakai seminggu? Apakah makanan anak berbeda dari orang dewasa? Dari dapur kita tahu cara hidup, prioritas, dan ketahanan.

Beberapa desa di Manggarai Timur sudah mencobanya. Para kader lokal dilatih bukan hanya untuk menimbang dan mengukur, tetapi untuk ‘menyapa dan mengedukasi’. Mereka mengetuk rumah, memeriksa isi dapur, mendengar cerita para ibu. Dari sana muncul solusi: menanam sayur di pekarangan, membiasakan konsumsi telur, hingga membuat dapur kolektif yang mengajarkan pola asuh.

Inovasi yang Bukan Lomba Poster

Sayangnya, begitu kata “inovasi” dipanggungkan di banyak ruang birokrasi, ia menjelma jadi kontes. Stunting pun jadi bahan lomba: siapa punya ide paling “unik”, paling “berbeda”, tanpa ditanya apakah ide itu membumi atau hanya menyentuh permukaan. Seperti anak yang lebih dulu dipakaikan jas sebelum punya baju dalam.

Padahal, inovasi sejati bukan terletak pada aplikasi digital atau model intervensi rumit. Tapi pada kemampuan menyentuh realitas lokal dengan cara sederhana: berani mendengar ibu-ibu, memahami konteks budaya, dan konsisten hadir-tanpa pamflet dan selfie. Di situlah “Cek Dapur Mama” menemukan maknanya: ia bukan program, ia adalah gerakan empati.

Membangun dari Kesederhanaan

Lalu, di manakah posisi negara? Jangan terlalu tinggi. Negara tak perlu hadir sebagai superhero. Cukuplah ia menjadi fasilitator yang mempermudah akses pangan, memperkuat edukasi gizi, dan menghargai pengetahuan lokal. Perempuan-perempuan desa tahu apa yang mereka butuhkan. Mereka hanya perlu teman, bukan perintah.

Stunting bukan hanya urusan berat badan dan tinggi badan. Ia adalah cermin tentang kesenjangan, tentang siapa yang makan apa, tentang bagaimana negara memperlakukan anak-anaknya yang lahir bukan di kota.

google.com, pub-6457301447675429, DIRECT, f08c47fec0942fa0