Oleh: Evridus Mangung, S. Fil
Labuan Bajo, Pijarflores – Malam sudah larut ketika saya masih terduduk di meja belajar. Lampu belajar menyala remang, menyorot lembar-lembar modul Uji Kompetensi Guru yang harus saya pahami.
Teh manis di gelas sudah dingin. Di luar, hanya suara serangga dan desiran angin malam yang menemani saya. Esok dan lusa, tanggal 17 dan 18 Mei 2025, adalah hari besar bagi saya đan rekan-rekan guru lainnya.
Kami akan mengikuti Uji Kompetensi Program Pendidikan Profesi Guru. Ujian yang menentukan bukan hanya kelulusan kami sebagai peserta PPG, tapi juga sebagai bentuk pertaruhan atas dedikasi kami selama ini-bahwa kami layak disebut guru profesional.
Tiba-tiba, layar ponsel menyala. Sebuah pesan masuk, Isinya dari PLN.
Mata saya langsung terpaku. Saya membaca ulang dengan cermat:
“Sehubungan dengan upaya peningkatan keandalan jaringan listrik, PLN akan melakukan pemeliharaan jaringan yang berdampak pada penghentian aliran listrik sementara pada hari Sabtu, 17 Mei 2025, pukul 09.00 hingga 17.00. Wilayah terdampak meliputi Sano Nggoang,
Indrong, Welak, Persawahan Siru, Eko Wae, Lembor, Nangalili, Lembor Selatan, dan sekitarnya.”
Saya terdiam.
Tanggal yang disebutkan persis saat ujian kami berlangsung. Ujian daring yang sangat bergantung pada listrik dan jaringan internet. Tanpa listrik, semua persiapan yang kami lakukan selama ini bisa sia-sia.
Saya tidak ingin menyerah hanya karena keadaan. Maka saya membuka aplikasi PLN Mobile, mengetikkan keluhan dan harapan saya, lalu mengirimkannya. Tak lama kemudian, saya mendapatkan balasan melalui WhatsApp dari pihak PLN ULP Labuan Bajo.
Seorang petugas dengan sopan menanyakan apakah ada surat resmi dari lembaga terkait. Saya menjelaskan bahwa sejauh ini belum ada surat resmi, namun pihak guru sudah menyampaikan permohonan secara lisan ke Kementerian Agama Manggarai Barat.
Saya juga menuliskan bahwa kami para guru mendukung penuh kegiatan pemeliharaan listrik, kami tahu itu penting untuk masyarakat. Tapi kami mohon agar waktu pelaksanaannya bisa ditinjau kembali, setidaknya ditunda sementara.
“Nasib kami sedang dipertaruhkan,”‘ tulis saya. “Satu hari ini akan sangat menentukan masa depan kami sebagai guru.
Saya tak menyangka, permohonan itu direspons cepat dan manusiawi.
Petugas PLN menenangkan saya. Ia berjanji akan meneruskan permohonan tersebut ke manajemen. Tak lama kemudian, ia kembali memberi kabar. Dan kabar itu sungguh melegakan:
“Sudah saya eskalasi ke manajemen. Pemeliharaan jaringan akan ditunda. Kami juga mendukung kegiatan Bapak/Ibu Guru. Semoga ujian berjalan lancar.”
Saya membacanya perlahan, berulang-ulang. Lega. Haru. Seperti ada aliran listrik yang bukan hanya menyala di rumah-rumah, tapi juga di dalam hati kami para guru. Malam itu, PLN bukan hanya mendistribusikan daya, tapi juga mendistribusikan harapan.
PLN Sigap dan Kooperatif
Dalam pengalaman itu, satu hal yang sangat saya syukuri adalah sikap sigap dan kooperatif dari PLN Labuan Bajo. Tidak ada jawaban yang mengambang, tidak ada sikap birokratis yang kaku. Justru yang saya rasakan adalah respons yang cepat, empatik, dan menyelesaikan masalah.
Sebagai pelanggan, saya merasa ihargai. Sebagai guru, saya merasa perjuangan kami tidak diabaikan. Respons PLN malam itu bukan hanya menyelesaikan potensi kendala teknis, tapi juga membangkitkan semangat kami untuk menghadapi ujian keesokan harinya dengan tenang dan penuh harap.
Ketika Dialog Membuka Jalan
Kisah ini mungkin sederhana. Hanya tentang seorang guru dari pelosok yang mengirim pesan. Tapi malam itu saya belajar bahwa ketika komunikasi dijalankan dengan niat baik, keajaiban bisa datang.
Saya tak tahu siapa nama petugas PLN yang membalas pesan saya dengan penuh empati. Tapi melalui tulisannya yang sopan dan solutif, saya merasa dimanusiakan. Saya merasa didengar.
Dan di sanalah letak makna terdalam dari pelayanan publik: bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang menghargai kehidupan di baliknya.
Cahaya Tak Selalu dari Bohlam
Kadang, cahaya datang dari ruang yang tak kita sangka dari balasan pesan, dari empati, dari rasa saling percaya. PLN Labuan Bajo malam itu telah menunjukkan pada saya, bahwa dalam dunia yang serba prosedural ini, masih ada ruang bagi kemanusiaan.
Saya menutup buku modul malam itu dengan senyum tipis. Besok pagi, ujian akan tetap berjalan. Tapi lebih dari itu, saya tahu: kami tidak sendirian. Di balik tiang-tiang listrik yang menjulang dan kabel-kabe1 yang membentang, ada manusia-manusia yang peduli.
Satu Pesan, Sejuta Harapan
Saya menulis kisah ini sebagai bentuk terima kasih. Kepada PLN Labuan Bajo yang bersedia mendengar suara kami. Kepada semua guru yang terus berjuang di tengah keterbatasan. Dan kepada siapa pun yang percaya bahwa secuil harapan bisa mengubah keadaan asal kita berani menyampaikannya.
Karena kadang, yang kita butuhkan hanyalah satu pesan. Dan dari sana, lahirlah sejuta harapan.