BeritaOpini

Surat Dinas yang Tak Pernah Dibaca oleh Hati

×

Surat Dinas yang Tak Pernah Dibaca oleh Hati

Sebarkan artikel ini
Jefrin Haryanto, Konsultan dan Praktisi Psikologi, Penulis, Birokrat Muda.

Oleh: Jefrin Haryanto

PIJARFLORES – Ada banyak surat yang dikirimkan setiap hari di negeri ini. Surat edaran, surat tugas, surat keputusan, surat permintaan data, surat permintaan ulang data yang kemarin baru diminta, hingga surat yang isinya tidak jelas siapa harus berbuat apa.  

 

Surat-surat itu melesat dengan kop dinas, nomor agenda, paraf kabid, tanda tangan kepala dinas, dan stempel basah. Kadang hanya untuk memberitahu bahwa “hari Senin wajib pakai baju adat.” Kadang untuk meminta laporan program yang belum dilaksanakan, agar bisa segera dilaporkan seolah-olah telah dilaksanakan.  

Surat itu resmi. Tertib. Sopan. Tapi tak semua surat itu dibaca oleh hati.

Kita hidup dalam zaman di mana efisiensi birokrasi dirayakan melalui e-office, aplikasi, dan arsip digital. Namun, kadang kala, efisiensi justru menggusur empati. Surat dinas yang seharusnya menjadi alat komunikasi, menjelma menjadi peluru perintah. Ia tidak berdialog. Ia menyuruh. Ia tak bertanya, “apakah kamu sedang lelah?”, “apakah kamu paham kenapa ini perlu?”, atau “apa yang sebenarnya rakyat butuhkan?”

Suatu hari, saya menemukan sebuah surat edaran di salah satu instansi:  

Isi surat: seluruh ASN wajib hadir mengikuti upacara dan membawa kursi sendiri.

Tak ada kalimat “mohon,” apalagi alasan. Tak ada penjelasan kenapa penting. Seakan kursi adalah lambang nasionalisme terbaru. Maka mereka pun berbaris, membawa kursi lipat seperti membawa beban sejarah.

Ini mungkin terdengar sepele. Tapi dari sinilah kita bisa melihat bagaimana komunikasi birokrasi telah kehilangan unsur relasi. Surat dinas tidak lagi menjembatani hubungan antar manusia, melainkan menjadi instrumen pelimpahan tanggung jawab tanpa kedalaman pemahaman.  

Menurut survei Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2022, sebanyak 71% ASN merasa perintah kerja datang terlalu formal dan kaku, tanpa konteks yang memadai. Hanya 29% yang merasa isi surat dinas benar-benar membangkitkan semangat atau motivasi kerja.  

Itu artinya, kita tidak sedang krisis surat. Kita sedang krisis rasa.  

Bayangkan jika surat-surat itu ditulis bukan hanya dengan kepala, tapi juga dengan hati. Jika surat tugas berisi kalimat, “Kami percaya Ibu/Bapak akan melakukan tugas ini dengan semangat melayani.” Atau jika surat permintaan data dimulai dengan, “Mohon maaf bila merepotkan, data ini penting untuk menolong mereka yang benar-benar membutuhkan.”

Itu bukan soal puitis. Itu soal etika berkomunikasi dalam organisasi yang mengaku melayani rakyat. Kita terlalu sering menulis surat seperti robot, dan berharap manusia menjawabnya seperti manusia.

Di balik semua surat dinas itu, seharusnya ada satu surat yang tak tertulis: surat pengakuan bahwa kita saling butuh, saling kerja sama, dan saling mengingatkan tentang makna pelayanan.

Tapi bagaimana mungkin hati bisa hadir, jika segala sesuatu dipaksa menjadi template? Surat undangan rapat pun kini sudah format .docx yang hanya diganti nama dan tanggal. Bahkan alasan rapat pun kadang tak berubah sejak lima tahun lalu.

Apakah ini yang disebut reformasi birokrasi? Ataukah hanya digitalisasi kekakuan?

Saya teringat pada seorang guru di pedalaman NTT, yang menerima surat mutasi. Tak ada kalimat pembuka. Tak ada penghargaan atas pengabdiannya selama 18 tahun. Hanya tanggal pindah dan lokasi baru.  

“Kalau begini caranya, saya ini angka, bukan manusia,” katanya pelan. Surat itu sampai, tapi tak pernah dibaca oleh hatinya. Ia pergi dengan kecewa, bukan karena dimutasi, tapi karena diperlakukan seperti file yang dipindahkan folder.

Maka, jika hari ini Anda mengetik surat dinas – apa pun bentuknya – sematkanlah sedikit kehangatan. Sedikit pengakuan atas beban kerja orang lain. Sedikit kalimat yang mengingatkan bahwa kita ini satu barisan, bukan sekadar mesin pelaksana.

Surat yang baik bukan yang rapi dalam struktur, tapi yang menyentuh struktur jiwa penerimanya.

Karena dalam birokrasi yang sehat, hati tak boleh disingkirkan hanya karena SOP. Empati tak boleh didepak hanya karena format. Dan pelayanan tak boleh dingin hanya karena kertasnya resmi.

Jadi, kalau surat dinasmu hari ini masih belum dibaca oleh hati – mungkin bukan rakyat yang kurang disiplin. Tapi suratnya yang lupa berbicara sebagai manusia.  

 

Dan surat yang lupa itu, bisa jadi bukan sekadar tidak dibaca. Tapi perlahan-lahan, tak akan dipercaya lagi.