Oleh: Edi Danggur
Jakarta, Pijarflores.com – Pada tanggal 17 Maret 2025, Pengadilan Negeri Maumere menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada 8 terdakwa. Dua diantaranya adalah perempuan.
Dalam persidangan, mereka terbukti melakukan tindak pidana berupa merusak papan nama PT Krisrama, memasuki tanah HGU dan mendirikan rumah di atas tanah HGU tersebut secara melawan hukum.
Mereka bermaksud menguasai dan memiliki tanah HGU PT Krisrama. Namun tanah dimaksud tidak dapat benar-benar dikuasai dan dimiliki. Malahan yang diperoleh adalah nestapa di balik penjara.
Sebuah Cerita Bijak
Apa yang dialami oleh ke-8 orang warga Maumere itu persis seperti apa yang dialami seorang perampok yang hendak menggasak aset gereja dalam sebuah cerita bijak.
Dikisahkan ada sebuah gereja paroki yang pastornya sering mengeluhkan banyak kehilangan barang karena pencurian. Yang dicuri tidak hanya barang-barang di rumah pastoran tetapi juga barang-barang berharga di dalam gereja.
Keresahan menghinggapi pastor dan semua penghuni rumah pastoran. Untuk mengatasi keresahan tersebut, mereka bersepakat agar pintu gereja dibuat dari pintu besi dengan kunci gembok yang canggih.
Tetapi sebetulnya pintu besi dan kunci gembok canggih itu hanya bagian dari sebuah jebakan. Di atas pintu ada sekarung pasir. Dekat pintu ada tombol yang menghubungkan karung pasir, lampu dan sirene.
Di depan pintu ditulis: ”Tolong, jangan menggunakan dinamit untuk mengancurkan dan membuka pintu ini. Pintu besi ini tidak dikunci. Pencet saja tombolnya”.
Si pencuri percaya kebenaran pesan dalam tulisan itu. Di malam gelap gulita itu, ia celingak-celinguk ke kanan ke kiri. Ia merasa tidak ada orang yang memantaunya.
Ia pun memencet tombol itu disertai rasa senang bakal bisa memasuki ruangan gereja dengan leluasa. Sebab pikirnya, hanya dengan memencet tombol, pintu dengan sendirinya akan terbuka.
Di luar dugaan, ternyata ketika ia memencet tombol, seketika itu juga pasir di karung di atas pintu yang tidak terlihat olehnya menjatuhkan seluruh pasir ke mukanya.
Ia sulit melihat saat itu karena butiran-butiran pasir kecil masuk ke bola matanya juga. Saat yang bersamaan pula, sirene berbunyi keras dan listrik menyala.
Beberapa orang polisi yang kebetulan sedang berpatroli, datang ke tempat bunyi sirene itu. Hanya dalam hitungan menit si pencuri dapat ditangkap dengan mudah dan dibawa ke kantor polisi.
Si pencuri ditahan di kantor polisi sambil menunggu proses hukum di pengadilan. Nasibnya sungguh tragis. Ia pun mendekam di bui hampir setahun.
Si pencuri ini sebenarnya dikenal paling rajin ke gereja, walaupun pastor dan banyak umat tidak mengetahui kalau dia berprofesi sebagai pencuri.
Suatu ketika pastor di parokinya penasaran mengapa umatnya yang seorang itu tidak pernah muncul lagi di gereja. Tanpa menjelaskan penyebabnya, seorang memberitahu bahwa umat yang dicari pastor itu sedang mendekam di penjara.
Pastor pun sepulang memimpin misa di gereja datang ke Rumah Tahanan Negara (Rutan) tempat ia menjalani masa hukumannya.
Si pastor memberikan kata-kata nasehat dan peneguhan kepadanya agar mengakrabi suasana sebagai seorang narapidana. “Hanya dengan menerima kenyataan sebagai terpidana, kamu bisa menjalani hari-harimu dengan tenang”, kata si pastor.
Dengan memelas, ia berkata kepada pastor: “Bagaimana saya akan dapat mempercayai orang lain lagi? Pastor sekalipun, saya tidak percaya lagi karena pastor pun sudah memasang jebakan untuk saya di pintu gereja.”
Moral Hukum
Kaum bijak sering menasehati, jangan meremehkan cerita. Sebab, uang emas hilang bisa ditemukan kembali dengan lilin kecil. Tetapi, kenyataan paling dalam, hanya dapat ditemukan dengan menggunakan cerita.
Apa moral hukum dari cerita bijak tersebut di atas? Penulis mencoba berusaha menyampaikan beberapa pesan moral hukum dari cerita bijak di atas:
Pertama, hukum tidak selalu berbasis pada kepercayaan. Banyak aktivis, entah pastor maupun awam, selalu membuat narasi besar di media bahwa PT Krisrama itu adalah sebuah korporasi milik Keuskupan Maumere, badan hukum keagamaan katolik.
Dengan narasi demikian para aktivis seolah-olah ingin menanamkan ilusi kepada warga masyarakat: silakan memasuki, kuasai dan miliki lahan HGU PT Krisrama. Paling nanti PT Krisrama menanggapinya dengan pendekatan pastoral kasih.
Wajar saja warga masyarakat kaget ketika mereka dilaporkan ke polisi oleh PT Krisrama dan sekaligus mengantar mereka ke bui. Bahkan rumah-rumah mereka di atas lahan HGU itu dibuldozer rata tanah. Semua ilusi yang terlanjur ditanam ke kepala mereka, buyar semua.
Belum lagi ada beberapa pastor aktivis yang memprovokasi: “Apalah gunanya keuskupan kaya dengan aset tanah tetapi umatnya tidur di pinggir kali atau di hutan”. Provokasi seperti ini berangkat dari penyalahgunaan ayat spiritualitas magis: ”Kalau ada yang merampas jubahmu, biarkanlah dia juga mengambil bajumu”.
Mereka mengakui ada tanah seluas 800-an hektar. PT Krisrama sudah mengembalikan 500 hektar tanah tersebut kepada pemerintah untuk diredistribusi kepada masyarakat. PT Krisrama tinggal menguasai 325 hektar tanah dengan status HGU.
Tetapi para pastor aktivis ini mengatakan, serahkan juga lahan HGU sisanya yang seluas 325 hektar tersebut. Hal itu sesuai dengan pandangan teologis ”option for the poor”, sebuah pilihan istimewa bagi kaum miskin.
Terbukti, ayat magis soal baju dan jubah itu disalahgunakan. Sebab, penggunaan ayat magis itu mensyaratkan bahwa jubah dan baju itu milik sendiri, bukan milik orang lain.
Jangan sok dermawan dengan memberikan baju dan jubah kepada orang miskin. Padahal baju dan jubah itu milik orang lain. Gereja menolak gaya dermawan ala Robinhood. Gereja menghendaki tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula.
Tanah HGU itu berasal dari tanah negara. PT Krisrama tidak ada hak, bahkan dilarang membagi-bagikan atau menyerahkan begitu saja tanah negara kepada warga masyarakat.
Jika larangan tersebut dilanggar, Direksi PT Krisrama justru dianggap menggelapkan aset negara. Itu perilaku koruptif yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Cerita di atas juga mengajarkan kepada masyarakat bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Jangan mempercayai begitu saja pesan indah pada pintu besi itu yang menggambarkan narasi manis para aktivis.
Tetap saja masyarakat itu sendiri yang akan menghadapi konsekuensi hukum karena tindakannya yang melawan hukum. Sedangkan para aktivis akan berdiam seribu bahasa dan kembali ke komunitas mereka masing-masing.
Kedua, di depan hukum, tanggung jawab itu bersifat individual. Cerita tersebut di atas menunjukkan bahwa individu memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Perampok dalam cerita tersebut tidak dapat menyalahkan orang yang menulis pesan berisi jebakan pada pintu gereja. Begitu juga warga masyarakat Nangahale tidak dapat menyalahkan atau membawa para aktivis ke muka sidang pengadilan yang telah menyarankan mereka melakukan tindakan melanggar hukum.
Warga masyarakat itu sendiri yang tetap harus bertanggung jawab atas tindakannya dan menghadapi konsekuensi hukum. Tanggung jawab hukum tidak dapat dilemparkan begitu saja kepada pihak lain.
Ketiga, pentingnya memahami hukum. Bisa saja, tidak semua warga masyarakat di Nangahale yang dihukum penjara itu memahami hukum. Namun, di mata hukum, semua orang dianggap tahu hukum (nemo ius ignorare consetur).
Konsekuensinya, seseorang tidak dapat dilepaskan dari hukuman hanya karena ia dianggap tidak tahu hukum. Sebab, ketidaktahuan akan hukum tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf yang dapat meluputkan seseorang dari hukuman (ignorantia legis excusat neminem).
Oleh karena itu, warga masyarakat perlu membiasakan diri untuk mencari opini hukum pembanding dari berbagai pihak sebelum melakukan sebuah tindakan. Apakah memasuki dan menguasai lahan milik orang lain itu dibenarkan secara hukum.
Di berbagai media online ada aktivis yang menyarankan masyarakat agar memasuki dan menguasai tanah HGU PT Krisrama. Tinggal masyarakat menunggu gugatan dari PT Krisrama. Ini jebakan yang membuat masyarakat terjerembab ke dalam nestapa.
Tidak mungkin PT Krisrama mengajukan gugatan. Alasannya: Pertama, karena menggugat orang itu adalah hak. Sebagai hak, PT Krisrama sebagai penyandang hak tersebut berhak untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya untuk menggugat masyarakat.
Di sisi lain, PT Krisrama berhak meminta perlindungan hukum dari polisi selaku aparat penegak hukum untuk melindungi hak-haknya atas tanah-tanah yang berada di bawah penguasaannya. Itu hak universal dan hak konstitusional bagi setiap warga korporasi.
Kedua, dalam hukum berlaku prinsip, siapa yang mendalilkan, ia wajib membuktikan dalilnya (actori incumbit probatio). Jika masyarakat mendalilkan bahwa mereka adalah keturunan dari nenek moyang yang memiliki dan menguasai tanah itu sebelum Belanda menjajah Indonesia, ajukan gugatan dan buktikan itu di pengadilan.
Sebaliknya, kalau mereka memasuki dan berusaha menguasai tanah HGU secara melawan hukum, itu tandanya mereka tidak memahami hukum. Mereka harus siap menghadapi konsekuensi hukum dari tindakan mereka tersebut.
Masyarakat kita juga perlu belajar dari Tagline Pegadaian: “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Jika masyarakat Nangahale merasa haknya dilanggar oleh PT Krisrama, atasi masalah dengan menggugat PT Krisrama ke pengadilan.
Sebaliknya, tindakan memasuki dan menguasai lahan HGU PT Krisrama adalah tindakan melawan hukum. Itu bukan mengatasi masalah, tetapi justru mengundang masalah baru.
Beberapa Implikasi Praktis
Pertama, jika para aktivis dipersepsikan sebagai penjual janji manis dan masyarakat sebagai pembeli, maka dalam jual beli ada sebuah peringatan dalam Bahasa Latin: “caveat emptor”. Itu artinya pembeli harus berhati-hati atau pembeli harus waspada.
Masyarakat diingatkan untuk tidak mempercayai pesan yang tidak jelas dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ketika mempercayai begitu saja pesan pada pintu besi yang tidak jelas dan tidak memeriksa kebenarannya, maka petaka pun datang.
Kedua, jangan mudah mempercayai (fidei non facilem). Perampok tersebut tidak dapat mempercayai orang lagi setelah tertipu. Pastor sekalipun yang mengunjungi dia di penjara, tidak bisa ia percayai lagi.
Percaya pada orang lain mensyaratkan bahwa kepercayaan itu tidak diberikan secara membabi buta. Jangan begitu mudah mempercayai orang lain, harus memeriksa kebenaran informasi. Tetap mempertahankan “jarak-aman” agar di saat terpojok pun masih bisa menghindar dari jebakan.
Ketiga, bijak dan berhati-hati (prudens et cautus). Masyarakat harus mempunyai sikap yang bijak dan berhati-hati dalam menghadapi situasi atau membuat keputusan.
Perampok dalam cerita di atas kurang mengumpulkan informasi secara lengkap tentang pintu besi itu dan tidak melakukan analisis mendalam. Sebaliknya ia justru terburu-buru dalam mengambil keputusan yang merugikan dirinya sendiri. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Nangahale.
Penulis adalah seorang praktisi hukum, tinggal di Jakarta
Tulisan ini telah dimuat di: https://beritamoneter.com/moral-hukum-dari-nangahale/ pada Kamis 10 April 2025.